AMERIKA SERIKAT SEBAGAI PENEGAK
DEMOKRASI DI IRAK (2000-2005)
MAKALAH
disusun guna memenuhi tugas mata
kuliah Sejarah Amerika
oleh
Kinanthi Nisful
Laily 110210302003
Dwiki Olivia
Silvi 110210302025
Teguh Prasetiyo 110210302045
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2012
BAB
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pasca perang dingin
muncul sebuah tatanan baru dimana hanya ada satu negara hegemon yang berperan
dalam hubungan internasional. Setelah runtuhnya Uni Soviet dalam perang dingin,
dan menjadikan Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adikuasa tunggal
tanpa kekuatan apapun dan siapapun yang berhak mengontrolnya, apalagi
menentangnya, yang mendominasi kekuasaan dan memiliki kekuatan dalam menguasai
dunia.
Menurut Jowono
Sudarsono, ada tiga isu yang menjadi sorotan baru pasca perang dingin, yaitu
terpusat pada yang dinamakan “3 in 1” yakni lingkungan hidup, hak asasi
manusia, dan demokratisasi. Isu ini sangat berkembang pesat dan masalah ini
juga terus disinggung ketikan negara-negara industry menyoroti negara-negara yang
berkembang. Amerika serikat sendiri juga ikut menyebarkan isu-isu tersebut ke
negara-negara yang digunakan untuk mencapai kepentingan nasionalnya dan
mengimplementasikan kepentinga-kepentingan luar negerinya.
Salah satu kepentingan
Amerika Serikat yang tidak dapat dihalangi oleh siapapun bahkan PBB adalah
Invasi Amerika Serikat ke Irak. Kebijakan Amerika Serikat di wilayah Timur
Tengah salah satunya Irak adalah tidak lepas dari kepentingan hegemoninya di
kawasan ini dan menjaga eksistensi strategi globalnya yang banyak memerlukan
dukungan dari kawasan Timur Tengah. Factor geografis Timur Tengah memiliki arti
stategis yang sangat penting bagi Amerka Serikat.
Berbagai cara ditempuh untuk
menyebarluaskan ajarannya tersebut mulai dari cara lembut hingga cara kasar
seperti invasi, embargo, atau sanksi-sanksi lainnya. Dan pada penulisan makalah
kali ini akan diangkat penyebaran demokrasi yang dilakukan Amerika Serikat dengan paksaan
kepada negara-negara timur tengah di masa pemerintahan George Walker Bush. Selain
itu juga akan dibahas motif lain dari invasi ke negeri seribu satu malam
tersebut.
1.2
Rumusan Masalah
- Apa latar belakang Amerika Serikat menegakkan demokrasi di Irak?
- Bagaimana proses penegakkan demokrasi di Irak?
- Bagaimana keadaan Irak setelah jatuhnya Saddam Hussein?
1.3
Tujuan Masalah
- Untuk mengetahui latar belakang Amerika Serikat menegakkan demokrasi di Irak
- Untuk mengetahui proses penegakkan demokrasi di Irak
- Untuk mengetahui keadaan Irak setelah jatuhnya Saddam Hussein
BAB
2. PEMBAHASAN
2.1
Latar Belakang Amerika Serikat Menegakkan Demokrasi di Irak
2.1.1 Keadaan Irak pada Masa Saddam
Husain
Saddam Husain at-Tikriti baru muncul sebagai orang
kuat di belakang layar pada paruh kedua tahun 70-an. Ia berdiri di belakang
Presiden Bakr. Selama beberapa tahun ia mempertahankan posisi yang tidak
menonjol sebagai wakil ketua komando Regional Partai Baath dan juga menjadi
Wakil Ketua Dewan Komando Revolusioner. Pada tanggal 17 Juli 1979, yaitu pada
peringatan ulang tahun kesebelas pemerintahan Baath di Irak, Saddam
menggantikan Bakr sebagai Presiden Republik yang mengundurkan diri karena
alasan-alasan kesehatan.
Di bawah kepemimpinan Saddam Hussein terdapat
tanda-tanda bahwa Irak mengalami suatu situasi politik yang stabil. Meskipun
kestabilan ini dicapai dengan kerja keras dari pihak keamanan, namun kebijakan
ekonomi dan social pemerintah sangat memegang peranan dalam kestabilan ini.
Akan tetapi pada tahun 1980 meletus peperangan antara Iran dan Irak. Terlepas
daripada asal-usulnya, peperangan ini merupakan sebuah tantangan yang berat
bagi pemerintah yang berkuasa di Irak. Namun perkembangan selanjutnya, terutama
semenjak diadakan gencatan senjata tahun 1988, telah memperbaiki citra
pemerintah, dan memperbesar dukungan rakyat kepadanya.
Bulan November 1988, beberapa bulan setelah gencatan
senjata itu, Presiden Saddam Hussein telah mengeluarkan suatu Program Reformasi
Politik yang mengizinkan berdirinya Partai-Partai politik yang beroposisi
kepada Partai Baath. Alasan yang dikemukakan bagi tindakan ini adalah karena
semua bangsa Irak, terdiri dari bermacam-macam latar belakang etnis, Ideologi,
agama, semua telah bekerjasama dalam upaya perang yang lalu, dan karena itu
berhak untuk memainkan suatu peranan yang terlembaga dalam proses pengambilan
keputusan. Majelis Nasional yang dipilih pada bulan April 1989 diberi tugas
untuk mengeluarkan undang-undang yang diperlukan untuk membenarkan adanya Partai-Partai
politik itu. Namun demikian, tidak dapat diharapkan timbulnya di Irak sebuah
sistem Liberal seperti yang terdapat di barat. Presiden Irak sendiri telah
menyatakan bahwa masyarakat Irak berbeda dari masyarakat Barat, karena itu
apabila terdapat praktek-praktek yang berbeda, maka ini adalah suatu hal yang sudah
dapat diharapkan.
Akan tetapi, kediktatoran rezim Saddam Husaeinlah
yang menyebabkan Amerika Serikat melakukan invasi ke Irak, meskipun ada
factor-faktor lain yang mendukung invasi tersebut. Oleh karena itu Amerika
Serikat melakukan invasi ke Irak dengan mengusung HAM dan demokrasi. Amerika
Serikat menegaskan bahwa tiadanya demokrasi berandil besar terhadap tumbuh dan
berkembangnya radikalisme dan aksi kekerasan di dunia Arab. Maka Amerika
Serikatpun mulai menyadari bahwa meredam kekerasan dan aksi terorisme harus
dibarengi dengan penguatan dan penyebaran demokrasi di Timur Tengah.
Pemerintahan di Irak yaitu Saddam Husain yang otoriter dan totaliter dinilai
sangat potensial mendukung kelompok-kelompok pemberontak bahkan kelompok
teroris untuk melawan negara-negara maju yang dianggap menindas seperti Amerika
Serikat. Hal inilah yang membuat Amerika Serikat bersikeras untuk menyerang
Irak yang mentransformasikan rezim otoriter yang tidak kooperatif dengan rezim
demkrasi seperti yang ada di Amerka Serikat.
Amerika Serikat membayangkan bahwa dengan
menggulingkan Saddam Hussein dan menggantikan pemerintahan yang dictator
menjadi demokrasi, rakyat Irak akan serta merta menyambutnya sebagai kemengan
demokrasi, sebagaimana diketahui bahwa menurut Amerika Serikat, rakyat Irak
tidak pernah merasakan demokrasi, terutama setelah Irak dikuasai oleh pemimpin
yang dictator dan otoriter seperti Saddam Husein. Sejak resmi menjadi nomor
satu di Irak (Juli 1979), Saddam Husein oleh pers barat dijuluki sebagai
dictator paling bengis di Timur Tengah, kemudian menjadi manusia paling
berbahaya di dunia atau Hittler zaman ini.
Modus utama penyerangan Irak oleh Amerika adalah kebijakan
luar negeri Amerika yaitu ingin memberantas jaringan terorisme internasional.
Peristiwa 11 September menimbulkan efek yang sangat luar biasa bagi Amerika
baik kedalam maupun keluar. Kebijakan kedalam adalah pengawasan ketat terhadap
pria keturunan arab yang hendak berkunjung ke Amerika baik yang teridentifikasi
berdasarkan ciri-ciri fisik maupun dari nama yang mengandung unsur Islam, juga
sebagian umat Islam yang berada di Amerika di mata-matai dan di Introgasi, dll.
Sedangkan kebijakan keluar yaitu invasi ke Irak karena indikasi keterkaitan
Saddam Husein dengan Osama bin Laden.
Alasan Saddam Husein terkait dengan Osama bin Laden tidak
bisa dijadikan alasan yang cukup kuat untuk menyerang Irak. Oleh karenanya
Amerika melakukan invasi dengan dalih mencari dan menghancurkan senjata kimia
pemusnah massa yang dicurigai dimiliki oleh Irak. Pada akhir tahun 2002 Dewan
PBB, yaitu UNMOVIC menyatakan bahwa di Irak tidak ditemukan senjata pemusnah
massa seperti yang dituduhkan pemerintahan Amerika terhadap Irak dan dugaan
UNMOVUIC tahun 2000 adalah kekeliruan. Namun Amerika bersikukuh melakukan
invasi ke Irak walaupun dengan alasan yang mengada-ada.
Dengan kata lain, Amerika Serikat menginginkan
Irak menjadi negara yang demokrasi untuk mengembalikan kekuasaan negara-negara
yang dinilai non-demokrasi (otoliter/totaliter). Dengan mengusung politik
standar ganda yakni membisu terhadap praktik pelanggaran demokrasi di negara-negara
Arab moderat, namun dalam waktu yang sama senantiasa mempermasalahkan isu
tersebut di negara-negara arab yang berada di luar siklus politik Amerika
Serikat. Amerika Serikat semakin memperlihatkan keinginannya yaitu penyebaran
demokrasi.ke negara-negara dunia seperti yang dilakukan intervensi Amerika
Serikat ke berbagai negara seperti Irak pasca rezim Saddam Husein.
Ideology demokrasi dianggap sebagai
ideology terbaik yang pernah dimilki oleh Amerika Serikat sehingga menyebabkan
Amerika Serikat ingin menyebarkan ideology tersebut. Meskipun muncul indikasi
adanya kepentingan ekonomi dan politik, akan tetapi hal itu hanya semata
dianggap sebagai modus belaka mengingat bahwa dengan penerapan demokrasi juga
dapat dijadikan sebagai instrument politik untuk mencapai tujuan kepentingan
negara semata.
2.1.2
Faktor-faktor Lain Amerika Serikat melakukan Invasi ke Irak
Menurut Wirawan Sukarwo terdapat dua alasan utama yang
melatarbelakangi serangan Amerika Serikat ke Irak. Pertama, keinginan Amerika Serikat
untuk menghentikan proyek pengembangan senjata pemusnah massal di Irak. Kedua,
menjatuhkan rezim Saddam Hussein yang dianggap memiliki hubungan dengan
Al-Qaeda yang mengancam stabilitas regional.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan para pengambil keputusan
(policy makers) di dalam pemerintahan Presiden Bush memutuskan untuk
menyerang Irak dan menumbangkan rezim Saddam Hussein, yaitu:
- Menguasai Industri Minyak Dunia dan Menghancurkan OPEC
Agresi militer Amerika Serikat ke Irak sangat erat kaitannya
dengan kepentingan minyak bagi Amerika Serikat. Irak merupakan negara yang
mempunyai cadangan minyak sebesar 112 miliar barel atau 11% dari total cadangan
minyak dunia. Para perancang kebijakan pemerintahan Amerika
Serikat berpendapat bahwa menguasai minyak
Irak sangat penting guna mengantisipasi menurunnya keberadaan minyak dunia
sebanyak lima juta barel per hari pada dekade mendatang. Lebih daripada itu,
Badan Energi Internasional memperkirakan bahwa kebutuhan dunia terhadap minyak
akan meningkat sebesar 1,6% pada tahun 2030. Dengan kata lain, kebutuhan minyak
dunia yang sekarang berjumlah antara 75-76 juta barel perhari akan meningkat
menjadi 120 juta barel perhari pada tahun itu.
Dengan menguasai minyak Irak, Amerika Serikat dapat dengan mudah mempermainkan harga
minyak dunia, karena selama ini penentuan harga minyak masih dikuasai OPEC,
bukan oleh satu negara tertentu. Jatuhnya Irak dan semakin kuatnya pengaruh Amerika
Serikat di kawasan Teluk tidak saja akan
mengamankan suplai minyak bagi Amerika Serikat dan sekutunya, tetapi juga
mengantarkan Amerika Serikat sebagai negara yang dapat mengontrol kepentingan ekonomi
(minyak) negara lain.
- Menjaga Eksistensi dan Keamanan Negara Israel
Amerika Serikat merupakan benteng utama penjaga keselamatan
negara Israel dari ancaman yang sering dihembuskan oleh Irak, karena itu
Amerika Serikat berkepentingan untuk menghancurkan Irak dan pemerintahan Saddam
Hussein. Dengan menghancurkan Irak dan menguasainya, maka Israel akan terbebas
dari ancaman Irak. Dengan adanya perang Amerika Serikat-Irak, maka Irael akan
menggunakan kesempatan itu untuk melakukan penindasan terhadap rakyat
Palestina.
M.
J. Akbar, seorang kolumnis kaliber internasional asal India, dalam Abdul Halim
Mahally (2003:353), menyatakan bahwa Amerika Serikat sesungguhnya tengah berupaya keras
untuk mewujudkan Timur Tengah Baru. Setelah Irak berhasil dikuasai, maka Amerika
Serikat hendak membentuk negara Palestina yang demokratis yang dapat bekerja
sama dengan Israel, karena selama ini Irak merupakan pendukung gerakan
perlawanan Palestina. Selain itu, Amerika Serikat juga ingin mewujudkan ambisi
Israel yang ingin menguasai Timur Tengah. Bagi Amerika Serikat, mendukung
Israel merupakan kepentingannya, karena itu Amerika Serikat secara
terang-terangan menerapkan kebijakan standar-ganda di Timur Tengah. Di satu
sisi, Amerika Serikat menjatuhkan sanksi-sanksi khusus kepada Irak, sementara
di sisi lain mendukung Israel menindas Palestina.
- Meneguhkan Pengaruh Politik
Dengan menghancurkan Irak, Amerika Serikat semakin terbuka peluangnya untuk
menapakkan pengaruh politiknya di Timur Tengah. Selama ini, pengaruh politik Amerika
Serikat di Timur Tengah belum dapat
terwujud secara maksimal, dikarenakan pemerintahan Saddam Hussein tidak mau
tunduk pada Amerika Serikat. Saddam Hussein secara terang-terangan mempunyai keberanian
untuk menentang hegemoni Amerika Serikat dan menggalang dukungan dari
negara-negara Teluk untuk menentang Amerika Serikat.
Kebijakan politik AS terhadap Irak
saat penyerangan, dapat disimpulkan menjadi empat butir. Pertama kembalinya tim
inspeksi PBB tanpa syarat ke Irak untuk melanjutkan misinya menghancurkan sama
sekali potensi Irak mengembangkan kembali senjata kimia, biologi, dan nuklir.
Kedua tidak ada perundingan dan komproni dengan Saddam Hussein. Ketiga tidak
ada jamninan pencabutan sanksi atas Irak meskipun Bgahdad mengizinkan tim
onspeksi PBB kembali lagi. Keempat, menggusur kekuasaan Saddam Hussein dan
menggantinya dengan pemerintahan yang lebih loyal pada Barat, seperti skenario
Afghanistan. (Mustafa Abd. Rahman,2003 : 37)
Menurut
menteri Pertahanan AS donald Rumsfeld, tujuan invasi militer ke Irak adalah :
1.Mengakhiri
pemerintahan Saddam Hussein dan membantu Irak transisi menjadi negara
demokratis
2.
Menemukan dan menghancurkan senjata pemusnah massal, program senjata dan
teroris
3.
Mengumpulkan data intelijen mengenai jaringan senjata pemusnah masal dan
teroris
4.
Mengakhiri sanksi embargo dan memberikan bantuan kemanusiaan
5.
Menagamnakan ladang-ladang minyak dan sumber daya alam minyak.
2.2 Proses
Penegakkan Demokrasi Amerika Serikat di Irak
Pada bulan Juli 2000, pemerintah Amerika Serikat mendapat
laporan dari badan khusus PBB yang menangani Inspeksi Senjata Kimia di Irak,
yaitu UNMOVIC (United Nations Monitoring,
verification, and Inspection Commission), bahwa Irak diduga telah
menyembunyikan senjata kimia di negerinya. Laporan tersebut merupakan pemicu
awal dari terjadinya serangkaian aksi investigasi senjata di Irak yang akhirnya
menimbulkan keputusan di pihak Amerika Serikat untuk menggempur Irak yang
terjadi pada bulan Maret sampai April 2003.
Dewan Keamanan PBB mengeluarkan lagi Resolusi 1441 mengenai
perlucutan senjata destruksi atau pemusnah massal Irak dan pembentukan Tim
Inspeksi yang diberi nama UNMOVIC (United Nations Monitoring, Verification,
and Inspection Commision). Menurut resolusi itu, dalam waktu sebulan Irak
harus menyerahkan laporan mengenai senjata pemusnah massal, sistem, dan program
pengembangannya. Pada resolusi ini, hanya Amerika Serikat dan Inggris yang
setuju jika Irak gagal memenuhi ketentuan resolusi itu, konsekuensinya berat
bagi Irak yaitu berupa serangan militer Amerika Serikat. Jika ada sesuatu yang
dianggap sebagai kesalahan Irak, baik disengaja atau tidak, dapat menimbulkan
perang yang menghancurkan negara itu. Dengan begitu, Amerika Serikat berpotensi
memicu provokasi bagi situasi panas berupa serangan militer ke Irak, bukan cuma
melucuti senjata pemusnah massal yang dicurigai dimiliki Irak, tetapi tujuan
akhirnya adalah mengganti pemerintahan Saddam Hussein.
Pada 14 Februari 2003, Han Blix (Ketua UNMOVIC) dan
El-Baradei (Direktur Jenderal Badan Energi Atom Dunia) menyampaikan laporan
bahwa di Irak tidak ditemukan senjata pemusnah massal. Kesimpulan itu
dinyatakan setelah tim dari PBB tersebut menginspeksi seluruh gedung Irak,
termasuk yang berada di bawah tanah. Pada 7 Maret 2003, Hans Blix dan
El-Baradei kembali menyampaikan laporan kepada PBB, bahwa Irak telah
menghancurkan rudalnya, termasuk Al-Samoud II yang merupakan satu-satunya
senjata pertahanannya.
Pada awal 2003 tanpa menghiraukan laporan Tim Inspeksi
Senjata PBB, Amerika Serikat mengerahkan tahap demi tahap kekuatan militernya
di perbatasan Irak. Beberapa peralatan sudah menunggu komando serangan dari
Amerika Serikat seperti salah satunya Suadron
udara dengan pesawat tempur F-15, F-16 dan beberapa kapal induk.
Presiden AS, George W. Bush, mengeluarkan ultimatum kepada
Irak, bahwa dalam jangka waktu 48 jam, presiden Irak Saddam Hussein dan
anak-anaknya harus segera meninggalkan Irak. Ultimatum itu berakhir pada 20
Maret 2003 dan beberapa jam sebelum perang dimulai, Amerika Serikat menghimbau
agar tentara Irak tidak melakukan perlawanan terhadap serangan tentara Amerika
Serikat nanti dan mengajak tentara Irak untuk membangkang kepada Saddam
Hussein.
Tembakan salvo dari kapal induk Amerika Serikat melayang ke
udara Irak tanggal 20 Maret merupakan awal dari perang Amerika Serikat dan
Irak. Setelah tembakan Salvo pada hari itu, lima kapal induk Amerika Serikat,
diantaranya adalah USS Abraham Lincoln, USS Kitty Hawk Dan USS Theodore saling
berlomba-lomba menembakkan rudal-rudal penjelajah Tomahowk ke Irak. Perang
antara Amerika Serikat dan Irak merupakan perang yang timpang dan tidak
seimbang. Irak tidak mempunyai kekuatan laut, sedangkan kapal-kapal induk Amerika
Serikat leluasa menembakkan rudal-rudal mereka ke Irak tanpa ada perlawanan
dari pasukan Garda Republik. Dalam perang ini, kekuatan Amerika Serikat (dan
sekutunya) sangat mendominasi karena Irak juga tidak berdaya menghadapi
serangan darat dan udara dari Amerika Serikat. Perang antara Amerika Serikat
dan Irak dimulai pada tanggal 20 Maret 2003 dan berakhir pada 9 April 2003
dengan didudukinya Baghdad, ibukota Irak, oleh pasukan Amerika Serikat dan
sekutunya.
Tanggal 27 Maret, Sidang Dewan Keamanan PBB mendesak Amerika
Serikat dan negara sekutunya untuk menarik semua pasukannya dari Irak tanpa
syarat apapun. Negara-negara anggota Liga Arab dan Gerakan Non Blok (GNB)
menyatakan serangan militer tersebut tidak sah dan melanggar aturan PBB. GNB
dan Liga Arab adalah dua kelompok yang mengusulkan digelarnya Sidang Khusus
yang bersifat terbuka tersebut. Sementara itu, negara-negara Uni Eropa juga
menyiratkan setujunya kawasan itu terhadap serangan militer Amerika Serikat ke
Irak, karena Uni Eropa menjunjung tinggi integritas dan kedaulatan Irak dan
menghormati hak-hak yang dimiliki rakyat Irak. Para penentang perang juga
berasal dari rakyat Amerika Serikat, di berbagai negara bagian Amerika Serikat,
terjadi demonstrasi untuk menentang perang.
Perang yang tidak imbang antara Amerika Serikat dan Irak
membuat perang berlangsung dengan cepat. Tanggal 9 April 2003, perang
dinyatakan berakhir dengan dikuasainya kota Baghdad, yang merupakan pusat
pemerintahan Saddam Hussein, oleh pasukan Amerika Serikat. Namun senjata
pemusnah massal yang menjadi alasan utama serangan Amerika Serikat (dan
sekutunya) ke Irak tidak juga diketemukan.
2.3
Keadaan Irak Setelah Jatuhnya Saddam Hussein
Tumbangnya patung Saddam Hussein setinggi 15
meter yang terbuat dari perunggu secara simbolis melambangkan runtuhnya rezim
Saddam Hussein. Perang telah dinyatakan selesai oleh Bush dan selanjutnya irak
jatuh ke tangan pasukan pendudukan pimpinan Amerika Serikat. Setelah tumbangnya
Saddam Hussein, Irak memasuki babak baru yang sangat berbeda dari sebelumnya.
Dari perang yang berlangsung selama 43 hari ini dapat dikatakan bahwa irak
mengalami kekalahan. Amerika Serikat telah berhasil
menjatuhkan rezim Saddam Hussein dan membentuk pemerintahan baru di Irak yang
dijanjikan demokratis. (Sumargono, 2010 : 96).
Melihat perkembangan Irak pasca Saddam Hussein,
dapat disimpulkan bahwa tantangan yang dihadapi AS dan sekutunya pasca perang
sangat berat. Kenyataan di lapangan memperlihtkan bahwa pasukan pendudukan
tidak dapat sepenuhnya menciptakan stabilitas, keamanan. Kelompok-kelompok
oposisi yang sebelumnya telah menjalin hubungan erat dengan AS, tidak
mengingkan para pejabat AS memainkan peran yang lebih besar dalam mengelola
pemerintahan pasca perang. Kelompok ini kemudian menyatakan bahwa orang-orang Irak
kompeten dan mampu untuk mebangnun Irak kembali.
Harapan rakyat Irak untuk membangun kembali Irak
tanpa bantuan asng tidak terwujud, karena AS telah mempunyai skenario dan
rencana sendiri dalam Irak. Setelah runtuhnya Saddam Hussein yang disusul
dengan pembentukan Dewan Pemerintah Sementara ternyata muncul
perlawanan-perlawanan bersenjata. Berbagai kelompok bersenjata bermunculan
bahkan sampai pada hari penyerahan kedaulatan rakyat Irak oleh AS ke Irak
tanggal 28 Juni 2004. Setelah penyerahan kedaulatan, rakyat masih harus kecewa
karena tentara pendudukan masih belum juga angkat kaki dari Irak, dengan dalih
untuk menumpas aksi kelompok bersenjata Irak.
Tentara pendudukan tidak begitu saja
meninggalkan Irak bahkan samapi diadakan pemilu di Irak pada hari Minggu, 30
Januari 2005. Tentara pendudukan tetap bercokol di Irak dan kelompok-kelompok
bersenjata melakukan perlawanan. Aksi penyerangan dan bom bunuh diri masih
terus terjadi hingga perlawanan terhadap pasukan pendudukan. Aksi ini tidak
hanya mengancam tentara pendudukan tetapi juga mengancam warga sipil Irak. Baku
tembak yang terjadi mengakibatkan sulitnya keamanan terwujud, meski pemerintah
yang baru sudah terbentuk. Selama pasukan pendudukan masih ada di Irak maka
kelompok-kelompok bersenjata masih terus beraksi dan selam itu pula rakyat Irak
masih juga jauh dari rasa aman.
Dalam pengakuannya, Amerika Serikat selalu
mengatakan bahwa serangannya ke Irak untuk menegakka demokrasi. Akan tetapi
setelah rezim Saddam Husein jatuh, Amerika Serikat mengalami kesulitan
membangun pemerintahan baru yang demokratis. Hal ini disebabkan:
a.
Prinsip Amerika Serikat sendiri tidak demokratis, melainkan
berdasarkan pada kepentingan politiknya, yaitu mencegah munculnya penguasa yang
menentang kekuasaan atau berafiliasi dengan negara yang menjdai musuh Amerika
Serikat.
b.
Pemimpin yang dipilih Amerika Serikat untuk memimpin Irak tidak
mempunyai basis pendukung yang kuat dikalangan rakyat.
Banyak kalangan yang cenderung dalam melihat
peristiwa yang terjadi di Irak, mereka berpendapat bahwa serangan Amerika
Serikat ke Irak sudah melanggar tatanan politik modern, seperti piagam PBB,
kedaulatan otoritas, pengakuan politik, dan prinsip-prinsip yang merupakan pra
syarat terwujudnya stabilitas politik. Pada tanggal 15 Desember 2005, pemilu
demokratis berhasil diadakan di Irak, dimana kelompok sunni yang diwakili oleh United Iraqi Alliance memperoleh kursi
terbanyak di palemen Irak, yaitu sebanyak 128 dari total 275 kursi yang ada.
Meskipun pemilu berhasil dilaksnakan, namun
legitimasi pemerintahan hasil pemilu sangat rendah karena rakyat Irak menggagap
pemerintah itu sebagai pemerintahan boneka Amerika Serikat dan rakyat juga ragu
terhadap kekapabilitasnya infasi Amerika Serikat ke Irak bukannya membawa
perdamaian dan kesejahteraan Irak khusunya dan Timur Tengah pada umunya, namun
semakin meningkatkan terorisme dan radikalisme. Peristiwa tersebut membuat
stabilitas politik semakin terganggu, kekerasan semakin meningkat dan yang
jelas harapan akan terwujudnya negara yang demokratis akan semakin jauh dari
kenyataan.
Merujuk pada tujuan dasar dari demokrasi dalam
mewujudkan keamanan manusia, hingga saat ini demokratisasi Amerika Serikat di
Irak tidak menampakkan adanya hasil yang pasti. Hal ini justru cenderung
semakin kacau pasca invasi yang dilakukan Amerika Serikat. Melihat betapa
besarnya pentingnya Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah, membuat
demokratisasi Amerika Serikat terhadap Irak hanyalah merupakan alat bagi Amerika
Serikat untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat internasional guna mencapai
kepentingan nasionalnya di kawasan Timur Tengah. Amerika Serikat disini
memnfaatkan Irak sebagai pintu masuk untuk mendapatkan akses yang lebih besar
untuk mengendalikan negara-negara Timur Tengah lainnya yang dianggap dapat
mengancam kepentingan Amerika Serikat, terutama Iran dan Syiriah.
2.3.1Keuntungan Amerika
Serikat Pada Invasi Irak Tahun 2003
Dalam invasi yang dilakukan Amerika
Serikat ke Irak pada tahun 2003 terdapat kepentingan-kepentingan Amerika
Serikat yang terkandung di dalamnya. Dan dengan keberhasilannya menaklukkan
rezim Saddam Hussein di Irak, Amerika Serikat memperoleh keuntungan-keuntungan
sebagai berikut:
1.
Keuntungan Secara Politik
Dengan keberhasilan invasi yang
dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap Irak pada tahun 2003 telah membuat
popularitas Amerika Serikat sebagai negara adikuasa dan hegemon di kawasan
Timur Tengah secara khusus dan dunia internasional meningkat pesat.
Hal ini terjadi karena Amerika Serikat mampu menaklukan rezim
Saddam Hussein yang terkenal kuat di kawasan Timur Tengah. Dan penaklukan oleh
Amerika Serikat ini dilakukan walaupun ditentang oleh Dewan Keamanan PBB,
anggota-anggota NATO seperti Perancis dan Jerman karena dirasakan invasi yang
dilakukan oleh Amerika Serikat ini kurang beralasan dan dapat mengguncang
stabilitas politik dunia.
Peristiwa ini kemudian menggambarkan keperkasaan Amerika
Serikat dengan kekuataannya dapat membuat PBB dan NATO pun tidak berkutik
dengan kebijakan perang yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
2.
Keuntungan Secara Ekonomi
Seperti yang telah diketahui, Irak
merupakan negara penghasil minyak terbesar setelah Arab Saudi. Dan minyak
merupakan suatu komoditas yang sangat menjanjikan bagi suatu negara, karena
dengan memiliki minyak, suatu negara mampu mempengaruhi harga minyak dunia.
Dengan keberhasilan Amerika Serikat
menaklukkan Irak, Amerika Serikat dengan pemerintahan sementaranya di Irak
membuat Irak memprivatisasi semua perusahaan minyak di Irak dan kemudian dijual
kepada Amerika Serikat. Hal ini jelas sangat menguntungkan bagi Amerika Serikat
yang juga sudah menguasai sebagian perusahaan minyak di Kuwait.
”Bila
AS mengontrol penuh sumur minyak Irak dan Kuwait, maka Washington akan berada
pada posisi lebih kuat dalam menghadapi negara-negara Arab Teluk, khususnya Arab
Saudi, dan pada gilirannya bisa mendikte negara-negara Arab tersebut tanpa
merasa takut terganggu arus suplai minyaknya dari kawasan Timur Tengah”
(Madjub, 2002).
Dan bukan hanya mampu memiliki
posisi strategis di kawasan Timur Tengah, dengan dimilikinya kilang-kilang
minyak tersebut, Amerika Serikat juga dapat menekan negara-negara industri
lain, seperti halnya di Eropa, karena negara-negara industri sangat tergantung
pada minyak demi keberlangsungan perkembangan perekonomian domestiknya.
3.
Keuntungan Secara Militer
Dalam invasi yang dilakukan Amerika
Serikat terhadap Irak pada tahun 2003 ini juga menimbulkan keuntungan
tersendiri bagi militer Amerika Serikat. Amerika Serikat yang merupakan negara
adikuasa mendedikasikan dirinya menjadi sebuah negara yang terkuat dalam segala
aspek, termasuk keunggulan dalam bidang militer.
Keunggulan yang ingin dicapai adalah
keunggulan dalam hal jumlah dan teknologi. Dimana dengan invasi yang dilakukan
terhadap Irak, Amerika Serikat memiliki kesempatan untuk memamerkan segala
perlengkapan militernya yang canggih dan tak tertandingi.
Hal ini sengaja dilakukan, selain
untuk mengukuhkan posisi Amerika Serikat di dunia internasional, juga dapat
mengintimidasi negara lain yang lebih lemah dengan memamerkan kekuatannya. Sehingga
negara lain akan merasa enggan untuk berlawanan cara pandang dari Amerika
Serikat karena takut menjadi korban selanjutnya seperti Irak.
BAB 3. PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Konflik senjata antara AS (Amerika
Serikat) dengan Irak pada tahun 2003, ada tiga tujuan yaitu AS ingin
menghancurkan senjata pemusnah massal, menyingkirkan ancaman teroris
internasional dan membebaskan rakyat Irak dari penindasan rezim Saddam Hussein
dengan cara memulihkan demokrasi di Irak.
Jatuhnya Saddam Hussein yang tidak
lepas dari intervensi AS yang dilatarbelakangi berbagai misi invasi sebagi
berikut :
(1)
Mengakhiri rezim Saddam Hussein yang dianggap diktaktor oleh AS;
(2)
Mengidentifikasi, mengisolasi, dan mengeliminasi senjata pemusnah massal;
(3)
Mencari, menangkap, dan membawa keluar teroris dari Negara itu;
(4)
Mengumpulkan data intelijen terkait yang bisa digunakan dalam jaringan
pemberantasan terorisme internasional;
(5) Mengumpulkan data intelijen yang terkait
dengan jaringan global di pasar gelap perdagangan senjata pemusnah massal;
(6)
Mengakhiri sanksi dan secepat mungkin mengirim bantuan kemanusiaan untuk
memenuhi kebutuhan rakyat Irak;
(7)
Mengamankan sumber-sumber ladang minyak yang menjadi milik rakyat Irak;
(8)
AS akan menjadi penolong rakyat Irak menciptakan masa transisi untuk membangun
sebuah pemerintahan yang representatif.
Pasca invasi AS negara Irak
mengalami berbagai macam perubahan, baik perubahan sosial, ekonomi, dan politik
sebagai akibat dari perang antara AS dengan Irak. Perubahan sosial yang muncul
setelah tumbangnya rezim Saddam Hussein adalah terjadinya perubahan sosial yang
drastis sehingga memperuncing ke arah perang saudara diantara rakyat Irak itu
sendiri; antara para pendukung Saddam dan yang kontra terhadapnya, antara
kelompok Sunni dan kelompok Syiah, maupun suku Kurdi yang
merasa berhak terhadap tampuk pemerintahan Irak. Untuk kondisi ekonomi Irak
pasca Invasi Amerika, minyak menjadi masalah utama. Oleh karena itu, Amerika
pasca invasi, akan mengandalkan cadangan minyak negerinya dari Irak, dengan
cara berusaha memasukkan perusahaan-perusahaan swasta miliknya di Irak dalam
program rekonstruksi infrastuktur minyak di Irak. Dan di bidang politik secara
umum, serangan AS yang bertujuan untuk menegakkan demokrasi di Irak telah berhasil
menggulingkan rezim Saddam Hussein yang dianggap otoriter oleh AS. Namun ketika
pemilu berhasil dilaksanakan, legitimasi pemerintah hasil pemilu sangat rendah
karena rakyat Irak menganggap pemerintahan hasil pemilu adalah pemerintahan
boneka Amerika dan rakyat juga ragu terhadap kapabilitasnya. Legitimasi politik
yang rendah tersebut dapat menyebabkan ketidakstabilan politik yang ditandai
dengan tingginya intensitas kekerasan dan konflik yang terus terjadi karena
penguasa gagal untuk menjalankan kekuasaan yang disebabkan oleh rakyat yang
tidak mau menaati peraturan-peraturan yang ditetapkan penguasa. Oleh karena
rakyat tidak taat, maka penguasa juga akan gagal mengendalikan konflik.
3.2
Saran
Perang adalah hanya menimbulkan keengsaraan bagi
rakyat sendiri, meskipun keinginan yang ingin dicapai adalah kebaikan.
Belajarlah untuk menjunjung tinggi toleransi dan utamakan perdamaian, serta
jangan mengutamakan kepentingan pribadi.
DAFTAR
PUSTAKA
Pareanom
A, dkk. 2005. Amerika Dan Dunia. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia
Hapsaridn.
2011. Jatuhnya Irak dalm Serangan Amerika
Serikat 2003 http://hapsaridn.sejarah
halaman 2.com (diakses tanggal 26 April 2013)
Fersyhana
A. 2011. Invasi Amerika Serikat ke Irak
tahun 2003. http://fersyhana.wordpress.com (diakses tanggal 26 April 2013)
0 komentar:
Post a Comment