BAB
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tercapainya
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 telah membawa bangsa
Indonesia menuju kearah yang lebih detail lagi. Selain harus menyiapkan hal-hal
yang dibutuhkan dalam menjadi negara yang merdeka, Indonesia juga membawa
konsekuensi politik, yakni keharusan dalam menyelenggarakan pemerintahan
sendiri dan teredianya institusi politik. Dan salah satu kebutuhan mendesak
tersebut adalah untuk membentuk partai politik.
Dalam
perjalanannya dari sebelum kemerdekaan hingga menuju kemerdekaan, keberadaan
partai politik secara nyata mempunyai andil dalam mencerdaskan masyarakat dan
menanamkan kesadaran kebangsaan. Partai politik telah ikut menumbuhkan semangat
nasionalisme dan kesadaran berpolitik.
Era 1950-1959
adalah era di mana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini berlangsung
mulai dari 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959. Pada periode ini diberlakukan
sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal dan
diberlakukannya UUDS 1950. Pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri, dan
Presiden hanya sebagai lambang. Sistem Demokrasi Liberal ternyata membawa
akibat yang kurang menguntungkan bagi stabilitas politik. Berbagai konflik
muncul ke permukaan. Misalnya konflik ideologis, konflik antarkelompok dan
daerah, konflik kepentingan antarpartai politik.
Adanya
pergantian kabinet yang silih berganti mengakibatkan pembangunan tidak berjalan
lancar,masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau
golongannya. Kondisi perpolitikan di Indonesia sebelum dilaksanakan Pemilu
tahun 1955 ada dua ciri yang menonjol, yaitu munculnya banyak partai politik
(multipartai) dan sering terjadi pergantian kabinet atau pemerintahan. Pada
masa ini terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang
tidak stabil.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang ada, maka
kami dapat mendapat beberapa rumusan masalah, yaitu:
a. Apa
pengertian demokrasi liberal menurut beberapa ahli?
b. Apa
latar belakang banyaknya cabinet pada masa demokrasi liberal?
c. Apa
saja cabinet-kabinet yang memimpin pada masa demokrasi liberal?
d. Apa
dampak dari banyaknya cabinet bagi NKRI?
1.3 Tujuan Masalah
a.
Agar mengetahui pengertian dari
demokrasi liberal di Indonesia
b.
Agar mengetahui latar belakang dari
banyaknya cabinet pada masa demokrasi liberal
c.
Agar mengetahui cabinet-kabinet yang
memimpin pada masa demokrasi liberal
d.
Agar mengetahui dampak dari banyaknya
kabinet bagi NKRI.
BAB
2. PEMBAHASAN
2.1
Pengertian dari Demokrasi Liberal menurut beberapa ahli
System pemerintahan Parlementer
atau yang kita sebut sebagai demokrasi liberal merupakan system pemerintahan
yang lazim diterapkan di negara-negara barat, dimana parlemen (Dewan Perwakilan
Rakyat) mempunyai kekuasaan untuk menjatuhkan cabinet (pemerintah). Oleh karena
itu pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen. Dalam menjalankan
pemerintahannya, cabinet dipimpin oleh perdana menteri yang membawahi sejumlah
menteri. Pemerintahan yang bertanggung jawab langsun kepada parlemen. Dan
presiden hanyalah sebagai kepala negara, dimana cabinet tidak bertanggung jawab
kepada presiden. (Siti Sumardianti;137)
Dengan kata lain dapat
dimaksudkan bahwa demokrasi liberal ditandai oleh pemerintah parlemen dengan
perdana menteri sebagai pemegang kepala pemerintahan, sedangkan presiden dan
wakil presiden yang telah dibentuk hanyalah sebagai kepala negara tanpa
mempunyai kekuasaan yang mutlak.
Pendapat lain
menyatakan bahwa ciri utama masa Demokrasi Liberal adalah sering bergantinya
kabinet. Hal ini disebabkan karena jumlah partai yang cukup banyak, tetapi
tidak ada partai yang memiliki mayoritas mutlak. Setiap kabinet terpaksa
didukung oleh sejumlah partai berdasarkan hasil usaha pembentukan partai
(kabinet formatur). Bila dalam perjalanannya kemudian salah satu partai
pendukung mengundurkan diri dari kabinet, maka kabinet akan mengalami krisis
kabinet. Presiden hanya menunjuk seseorang (umumnya ketua partai) untuk
membentuk kabinet, kemudian setelah berhasil pembentukannya, maka kabinet
dilantik oleh Presiden.
Suatu kabinet dapat
berfungsi bila memperoleh kepercayaan dari parlemen, dengan kata lain ia
memperoleh mosi percaya. Sebaliknya, apabila ada sekelompok anggota parlemen
kurang setuju ia akan mengajukan mosi tidak percaya yang dapat berakibat krisis
kabinet. Selama sepuluh tahun (1950-1959) ada tujuh kabinet, sehingga rata-rata
satu kabinet hanya berumur satu setengah tahun.
Periode tahun 1950–1965, dalam sejarah kontemporer
Indonesia, sering disebut sebagai zaman Demokrasi Liberal dan zaman Demokrasi
Terpimpin. Zaman Demokrasi Liberal (1950-1959) ditandai oleh sistem
pemerintahan parlementer, dengan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan,
sedangkan Presiden dan Wakil Presiden hanya sebagai kepala negara tanpa
kekuasaan yang efektif. Sementara itu zaman Demokrasi Terpimpin ditandai oleh kekuasaan
yang besar dan memusat pada Presiden Soekarno–seiring dengan dominannya
kekuatan politik golongan komunis dan tentara–sampai dengan sistem kekuasaan
itu ambruk karena pertentangan tajam dan konflik internal yang keras pada tahun
1965.
2.2 Latar Belakang dari banyaknya cabinet
pada masa Demokrasi Liberal
Tercapainya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus membawa kosekuensi politik, yakni keharusan untuk menyelenggarakan
pemerintahan sendiri dan tersedianya institusi politik. Salah satu kebutuhan
mendesak adalah keharusan untuk membentuk partai politik.
Presiden Soekarno (presiden RI yang pertama)
menghendaki hanya ada satu partai politik (partai tunggal), dengan nama Partai
Nasional Indonesia. Hal ini dikarenakan dengan adanya satu partai dapat
menghimun kekuatan dalam mempertahankan kemerdekaan. Pendirian parta tunggal
semata-mata dimaksudkan agar kekuatan partai politik tidak terpecah belah
karena adanya banyak partai politik. Keinginan tersebut juga dapat
terealisasikan dalam pemerintahannya yang pertama, yaitu kebinet presidensil
dan juga dianggap sesuai dengan UUD 1945. Akan tetapi banyak partai yang
menentang usaha pembentukan satu partai tersebut, karena dipandang otoriter dan
berbau fasisme. Salah satu yang menentang adalah Sultan Sjahrir.
Sultan Sjahrir menghendaki system banyak partai
(multi partai), yakni dengan memberi kesempatan kepada rakyat untuk membentuk
partai politik. Dalam karangannya “Our Struggle”, ia berpendapat bahwa apa yang
diinginkan oleh Soekarno dipandang otoriter dan berbau fasis, sehingga harus
dihindari karena merupakan pengingkaran dan tidak sesuai dengan Pncasilan dan
UUD 1945. Hal ini juga didasarkan bahwa pemerintahan yang demokrasi adalah pemerintah
yang memberikan kesempatan kepada rakyatnya umtuk berpendapat, salah satunya
adalah dengan pembentukan parpai politik.
2.2.1 Latar Belakang muncul Partai
Politik di Indonesia
Tercapainya kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 membawa bangsa Indonesia untuk membentuk
partai politik. Dalam usaha inilah terjadi perbedaan pendapat antara golongan
muda (salah satunya Sjahrir) denga golongan tua (Soekarno, Hatta). Dari
koordinasi kelembagaan dan diplomasi memperthanan kemerdekaan yang pada akhir
KMB (Komferensi Meja Bundar), dijelaskan bahwa perubahan RI menjadi RIS yang
membagi wilayah Indonesia menjadi 8 bagian, yaitu RI, negara Madura, Negara
Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Sumatra Timur, dan 9 lainnya. Akan
tetapi pada akhir itu, Indonesia kembali berjuang untuk kembali pada NKRI dan
melepaskan dari RIS yang dianggap bahwa RIS tidak sesuai dengan kepribadian
bangsa Indonesia. Oleh karena itu pemerintah RIS dan RI mengadakan pertemuan
pada tanggal 19 Mei 1950 yang disebut dengan “Piagam Persetujuan”. Isi dari
piagam tersebut adalah pemerintah sepakat membentuk NKRI sebagai penjelmaan RI
berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945. Dan akhirnya pada tanggal 15 Desember
1950, presiden Soekarno menandatangi rancangan UUD dengan kembali ke NKRI
dengan UUDS 1950 yang bersifat liberal.
Sultan Sjahrir yang
pada awalnya menginginkan adanya bentuk pemerintahan yang bersifat parlementer,
menggunakan kesempatan itu dengan mengeluarkan usulan dan desakan dari Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, sehingga pada tanggal 3 November 1945
pemerintah mengeluarkan sebuah maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945 yang
berisi pendirian dan tanggapan positif dari pemerintah terhadap keinginan
rakyat untuk membentuk partai-partai politik. Maklumat tersebut ditandatangi
oleh Wakil Presiden, Moh Hatta, karena pada waktu itu presiden sedang
berhalangan.
Semenjak dikeluarkan
maklumat pemerintahan tanggal 3 November 1945, kemudian berdiri berbagai partai
politik yang telah ada semenjak masa sebelum kemerdekaan maupun partai politik
yang baru berdiri. Kehidupan partai politik mengalami perkembangan yang pesat,
lebih-lebih setelah diadakan perubahan secara tersamar dalam system pemerintah
dari cabinet presidensil menjadi cabinet parlementer. Hal ini berlangsun setelah
KNIP diserahi kekuasaan legisatif. KNIP juga mengusulkan perombakan agar
pemerintahannya digantikan dengan pemerintahan yang parlementer. Usulan
tersebut teralisir pada tanggal 14 November 1945 yaitu dengan terbentuknya
cabinet (Parlementer) baru di bawah pimpinan Sultan Sjahrir sebagai perdana
menteri.
Pembentukan cabinet
selama masa Demikrasi Liberal selalu memperlihatkan corak berperannya partai
politik, dengan istilah lain partai politik menjadi organ terpenting bagi
pelaksanaan system pemerintahan demokrasi liberal.
2.2.2
Alasan terjadi jatuh bangun cabinet dalam masa demokrasi liberal
Masa demokrasi Liberal dimulai pada saaat negara
kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950 memungkinkan untuk
kembali pada kancah dunia perpolitikan. Sebelum masuk dalam materi yang lebih
mendalam, sebelumnya akan dijelaskan terlebih dahulu tentang cabinet dan
parlemen. Dari pengertian demokrasi liberal di atas telah dijelaskan bahwasanya
demokrasi liberal (system pemerintahan parlementer) selalu berhubungan dengan
parlemen dan cabinet. Parlemen sendiri adalah Dewan Perwakilan Rakyat yang
berkuasa penuh untuk menjatuhkan cabinet (pemerintah). Dalam pemerintahannya,
cabinet dipimpin oleh perdana menteri. Jadi perdana menteri bertanggung jawab
langsung terhadap parlemen. Presiden hanyalah berkedudukan sebagai kepalan
negara, dan cabinet tidak bertanggung jawab kepada presiden. Dalam hal ini
presiden hanyalah dapat dikatakan sebagai figure negara yang tidak memilki hak
apapun didalamnya.
Parlemen sendiri dalam system pemerintahan
parlementer merupakan pencerminan dari perwakilan-perwakilan partai politik
yang ada. Hal ini dimaksudkan apabila suatu partai politik dapat menguasai
kursi mayoritas dalam parlemen, maka dapat berperan secara politis dalam mengendalikan
jalannya pemerintahan. Begitu pula dengan cabinet. Cabinet yang menjalankan
pemerintahan pada dasarnya juga merupakan pencerminan dari wakil atau utusan
dari partai politik. Dalam artian bahwa keberadaan seorang menteri dalam
cabinet terikat kepasda kepentingan dari partai politik yang dianut oleh utusan
itu sendiri. Sehingga yang sering terjadi dalam program cabinet mencerminkan
kebijaksanaan yang telah digariskan darp partai politik.
System pemerintaha demokrasi liberal pada intinya
didasarkan pada perimbanagan kursi (suara) di parlemen yang dimiliki
masing-masing partai politik. Partai politik yang menguasai kursi mayoritas di
parlemen, maka partai yang bersangkutan dapat menguasai dan mengendalikan
jalannya pemerintahan. Jalannya pemerintahan (cabinet) mendapat pengawasan
langsung dari parlemen, dalam arti parlemen dapat menjatuhkan cabinet yang
sedang memerintah. Yang demikian ini adalah kehidupan cabinet yang sering jatuh
karena adanya mosi tidak percaya dari parlemen. Kenyataan politik seperti inilah
yang dialami bangsa Indonesia selama menerapkan pemerintahan demokrasi liberal
1950-1959. Selama kurun waktu Sembilan tahun, terjadi pergantian cabinet
sebanyak tujuh kali. Satu cabinet belum sempat merealisasikan seluruh program
kabinetnya, parlemen dapat menjatuhkan cabinet tersebut dengan adanya mosi
tidak percaya.
Meskipun pemerintahan demokrasi liberal menganut
multi partai, pada kenyataannya hanya menempatkan dua partai yang secara
dominan menuguasai cabinet, yaitu PNI dan Masyumi. Sampai pada cabinet yang
terakhirpun, selalu bergantian dipegang oleh dua partai ini. Sehingga dalam
terminology politik, keadaan ini diistilahkan sebagai pergeseran kekuasaan
bolak-balik (alternation of power).
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwasanya alasan dari
jatuh bangunnya cabinet pada masa demokrasi liberal adalah adanya mosi tidak
percaya dari parlemen terhadap kebijaksanaan seorang cabinet ataupun
kebijaksaaan cabinet secara keseluruhan. Biasanya yang melancarkan mosi tidak
percaya kepada cabinet adalah dari para parlemen yang partai politiknya tidak
mendapatkan kursi di dalam cabinet (pemerintahan). Jadi partai poltik yang
terwakili dalam pemerintahan adalah partai pemerintahan, sdangkan yang tidak
dapat duduk di cabinet (pemerintahan) dapat dikatakan sebagai partai oposisi.
Partai oposisi inilah yang biasanya secara terus menerus akan mencari titik
lemah yang ada pada cabinet dan akan terus berusaha secara maksimal untuk
menjatuhakn cabinet (pemerintahan) yang berlangsung.
Dari situlah sebenarnya
dalam masa demokrasi liberal hanyalah partai politik yang salaing menjatuhkan
untuk mendapatkan tempat yang lebih atas dalam mengatur pemerintahan.
2.3
kabinet-kabinet yang memimpin pada masa demokrasi liberal
a. Kabinet Natsir (6 September 1950
– 21 Maret 1951)
Merupakan kabinet koalisi yang
dipimpin oleh partai Masyumi.
Dipimpin Oleh : Muhammad Natsir
Program
:
1.
Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
2.
Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
3.
Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
4.
Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
5.
Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Hasil
:
Berlangsung
perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah
Irian Barat.
Kendala/ Masalah yang dihadapi
:
a.
Upaya
memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu
(kegagalan).
b.
Timbul
masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh
wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA,
Gerakan RMS.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan
Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan
pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi
tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan mandatnya
kepada Presiden.
b. Kabinet Sukiman (27 April 1951 –
3 April 1952)
Merupakan kabinet koalisi antara
Masyumi dan PNI.
Dipimpin Oleh: Sukiman Wiryosanjoyo
Program
:
- Menjamin keamanan dan ketentraman
- Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
- Mempercepat persiapan pemilihan umum.
- Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
Hasil
:
Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjtkan program
Natsir hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan
programnya, seperti awalnya program Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman
selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman
Kendala/ Masalah yang dihadapi
:
- Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika.
Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik
luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat
bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
- Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
- Masalah Irian barat belum juga teratasi.
- Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Muncul pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan
Sukiman sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya
menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada
presiden.
c. Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3
Juni 1953)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet
yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam biangnya.
Dipimpin Oleh : Mr. Wilopo
Program :
- Program dalam negeri : Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan.
- Program luar negeri : Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Hasil : -
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
- Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.
- Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.
- Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
- Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno sehingga ia mengirim petisi mengenai penggantian KSAD kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan keamanana di Sulawesi Selatan. Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi di berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen. Sementara itu TNI-AD yang dipimpin Nasution menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan. Tetapi saran tersebut ditolak. Muncullah mosi tidak percaya dan menuntut diadakan reformasi dan reorganisasi angkatan perang dan mengecam kebijakan KSAD. Inti peristiwa ini adalah gerakan sejumlah perwira angkatan darat guna menekan Sukarno agar membubarkan kabinet.
- Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian KMB pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan memiliki tanah-tanah perkebunan. Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh para petani di Sumatera Utara dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953 muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan beberapa petani terbunuh. Intinya peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).
Berakhirnya
kekuasaan kabinet
:
Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya
dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan
mandatnya pada presiden.
d. Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31
Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Kabinet ini merupakan koalisi antara
PNI dan NU.
Dipimpin Oleh : Mr. Ali Sastroamijoyo
Program
:
- Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu.
- Pembebasan Irian Barat secepatnya.
- Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
- Penyelesaian Pertikaian politik
Hasil
:
- Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955.
- Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Kendala/
Masalah yang dihadapi
:
- Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
- Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet. Sebagai gantinya mentri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo tetapi panglima AD menolak pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD. Bahkan ketika terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955 tidak seorangpun panglima tinggi yang hadir meskipun mereka berada di Jakarta. Wakil KSAD-pun menolak melakukan serah terima dengan KSAD baru.
- Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan.
- Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
- Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya.
Berakhirnya
kekuasaan kabinet :
Nu
menarik dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam
kabinetnya inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya pada presiden.
e.
Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Dipimpin
Oleh :
Burhanuddin Harahap
Program
:
- Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
- Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru
- Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi
- Perjuangan pengembalian Irian Barat
- Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Hasil
:
- Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih konstituante). Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.
- Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
- Pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan oleh polisi militer.
- Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin.
- Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955 dengan mengangkat Kolonel AH Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi
:
Banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap
menimbulkan ketidaktenangan.
Berakhirnya
kekuasaan kabinet :
Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin
dianggap selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap
kabinet sehingga kabinetpun jatuh. Akan dibentuk kabinet baru yang harus
bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula.
f. Kabinet Ali Sastroamijoyo Ii (20
Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Kabinet
ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Dipimpin Oleh : Ali Sastroamijoyo
Program
:
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang,
sebagai berikut.
- Perjuangan pengembalian Irian Barat
- Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
- Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
- Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
- Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Selain
itu program pokoknya adalah,
- Pembatalan KMB,
- Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif,
- Melaksanakan keputusan KAA.
Hasil
:
Mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai
titik tolak dari periode planning and investment, hasilnya adalah Pembatalan
seluruh perjanjian KMB.
Kendala/
Masalah yang dihadapi :
- Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat.
- Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer seperti Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
- Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap mengabaikan pembangunan di daerahnya.
- Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya pada orang Cina karena memang merekalah yang kuat ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat melindungi pengusaha nasional.
- Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi dan parlementer.
Berakhirnya
kekuasaan kabinet :
Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet
hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.
g.
Kabinet Djuanda ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet
yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya. Dibentuk karena
Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950.
Serta terjadinya perebutan kekuasaan antara partai politik.
Dipimpin
Oleh : Ir.
Juanda
Program
:
Programnya disebut Panca
Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet Karya, programnya yaitu :
- Membentuk Dewan Nasional
- Normalisasi keadaan Republik Indonesia
- Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
- Perjuangan pengembalian Irian Jaya
- Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan
Semua itu dilakukan untuk menghadapi pergolakan yang terjadi
di daerah, perjuangan pengembalian Irian Barat, menghadapi masalah ekonomi
serta keuangan yang sangat buruk.
Hasil
:
- Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial. Melalui deklarasi ini menunjukkan telah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia dimana lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.
- Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi terpimpin.
- Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI.
- Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
Kendala/
Masalah yang dihadapi :
1.
Kegagalan
Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin meningkat.
Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat. Munculnya
pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
2.
Keadaan
ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit
dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
3.
Terjadi
peristiwa Cikini, yaitu
peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan Perguruan
Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah tempat putra-purinya bersekolah pada
tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini menyebabkan keadaan negara semakin
memburuk karena mengancam kesatuan negara.
Berakhirnya
kekuasaan kabinet :
Berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden
5 Juli 1959 dan mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.
2.4 Dampak Banyaknya Kabinet pada
NKRI
Dari banyaknya cabinet
yang berhasil memerintah pada masa demokrasi liberal, memang sudah ada dampak
yang gangguan atau kendala dalam menjalankannya. Akan tetapi, selain gangguan
keamanan, kesulitan juga dialami oleh Pemerintah dalam beberapa bidang.
Sehingga pada akhir Demokrasi Liberal terasa terjadi kemunduran.
Kesulitan-kesulitan tersebut antara lain dalam bidang:
a. Politik
Politik sebagai
Panglima merupakan semboyan partai-partai pada umumnya, sehingga
berlomba-lombalah para partai politik untuk memperebutkan posisi panglima ini.
Lembaga seperti DPR dan Konstituante hasil PEMILU merupakan forum utama
politik, sehingga persoalan ekonomi kurang mendapat perhatian.
Pemilihan umum
merupakan salah satu program beberapa kabinet, tetapi karena umur kabinet pada
umumnya singkat program itu sulit dilakukan. Setelah Peristiwa 17 Oktober 1952,
pemerintah berusaha keras untuk melaksanakannya. Dalam suasana liberal, Pemilu
diikuti oleh puluha partai, organisasi maupun perorangan. Anggota ABRI pun ikut
serta sebagai pemilih.
Pada tanggal 15
Desember 1955 pemilihan dilaksanakan dengan tenang dan tertib. Ada empat partai
yang memenangkan Pemilu, yaitu Masyumi, PNI, Nahdatul Ulama, dan PKI. Namun
pada prakteknya, kedua lembaga (DPR dan Konstituante) tidak memberikan hasil
seperti yang diharapkan. DPR tetap sebagai tempat perebutan pengaruh dan kursi
pemerintahan, sedangkan konstituante setelah lebih dari dua tahun belum juga
dapat menghasilkan UUD baru untuk menggantikan UUDS.
Politik Luar Negeri
Indonesia semakin mantap setelah diterima sebagai anggota PBB ke-60 (27
Desember 1950). Cara-cara damai yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap
Pemerintah Belanda tentang Irian Jaya ( Papua ) tidak memperoleh penyelesaian
yang memuaskan, seperti telah tercantum dalam persetujuan KMB, sehingga secara
sepihak Pemerintah Indonesia membatalkan perjanjian tersebut dengan UU No. 13
Tahun 1956. Sumbangan positif Indonesia dalam dunia Internasional adalah
dikirimkannya tentara Indonesia dalam United Nations Amergency Forces (UNEF)
untuk menjaga perdamaian di Timur Tengah. Pasukan ini diberi nama Garuda I dan
diberangkatkan Januari 1957.
b. Ekonomi
b. Ekonomi
Untuk menyehatkan
perekonomian, dilakukan penyehatan keuangan dengan mengadakan sanering yang
dikenal dengan Gunting Syafrudin (19 Maret 1950). Uang Rp. 5,00 ke atas
dinyatakan hanya bernilai setengahnya, sedangkan setengahnya lagi merupakan
obligasi. Bari tindakan tersebut Pemerintah dapat menarik peredaran uang
sebanyak Rp. 1,5 milyar untuk menekan inflasi.
Pemerintah juga
mengeluarkan peraturan tentang Bukti Eksport (BE) untuk mengimbangi import.
Eksportir yang telah mengeksport kemudian memperoleh BE yang dapat
diperjualbelikan. Harga BE meningkat, sehingga pemerintah membatasinya sampai
32,5%. Karena ternyats BE tidak berhasil meningkatkan perekonomian, akhirnya
peraturan tersebut dihapuskan (1959).
Pemerintah kemudian
membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) yang bertugas menyusun rencana
pembangunan Nasional untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur (1959).
Tetapi peningkatan belum juga terjadi, karena labilnya politik dan inflasi yang
mengganas. Pemerintah juga cenderung bersikap konsumtif. Jaminan emas menurun ,
sehingga rupiah merosot.
c. Sosial
Partai Politik
menggalakkan masyarakat dengan membentuk organisasi massa (ormas), khususnya
dalam menghadapi Pemilu tahun 1955. Keadaan sosial-ekonomi yang kian merosot
menguntungkan partai-partai kiri yang tidak duduk dalam pemerintahan karena
dapat menguasai massa. PKI makin berkembang, dalam Pemilu tahun 1955 dapat
merupakan salah satu dari empat besar dan kegiatannya ditingkatkan yang
mengarah pada perebutan kekuasaan (1965).
d. Budaya
Meskipun banyak
kesulitan yang dihadapi, Pemerintah dianggap berhasil dalam bidang budaya ini.
Untuk mencukupi tenaga terdidik dari perguruan tinggi, Pemerintah membuka
banyak universitas yang disebarkan di daerah.
Prestasi lain adalah
dalam bidang olah raga. Dalam perebutan Piala Thomas (Thomas Cup) Indonesia
yang baru pertama kali mengikuti kejuaraan ini berhasilmemperoleh piala
tersebut (Juni 1958). Selain itu juga Indonesia berhasil menyelenggarakan
Konfrensi Asia-Afrika dengan sukses.
Karena wilayah
Indonesia berupa kepualauan, maka Pemerintah mengubah peraturan dari pemerintah
kolonial Belanda, yaitu Peraturan Wilayah Laut dan Lingkungan Maritim Tahun
1939, yang menyebutkan wilayah teritorial Hindia-Belanda dihitung tiga mil laut
diukur dari garis rendah pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan wilayah
daratannya. Peraturan ini dinilai sangat merugikan bangsa Indonesia. Karena itu
Pemerintah Indonesia mengeluarkan Deklarasi 13 Desember 1957 yang juga disebut
sebagai Deklarasi Juanda tentang Wilayah Perairan Indonesia.
Indonesia juga membuat
peraturan tentang landas kontinen, yaitu peraturan tentang batas wilayah
perairan yang boleh diambil kekayaannya. Peraturan ini tertuang dalam
Pengumuman Pemerintah tentang Landas Kontinen tanggal 17 Februari 1969.
Pemerintah Indonesia mengadakan perjanjian dengan negara-negara tetangga
tentang batas-batas Landas Kontinen agar kelak tidak terjadi kesalahpahaman.
BAB
3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Semenjak
RIS menjadi RI, dengan penandatanganan UUDS, membawa pemerintahan Indonesia
berubah dari presidensil menjadi parlementer (liberal) yang ditandai dengan
perdana menteri sebagai pemegang pemerintahan dan presiden hanyalh sebagai
kepala negara yang tidak mempunyai kekuasaan yang mutlak. Masa demokrasi
liberal juga ditandai dengan berembangnya banya partai politik dengan adanya
Maklumat pemerintah yang secara tersamar merubah perintahan menjadi
pemerintahan yang leiberal (parlemen)
Pada
era ini terjadi tujuh kali pergantian cabinet, yaitu: cabinet Moh Natsri
(September 1950-Maret1951), cabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952), cabinet
Wilopo (April 1952-Juni 1953), cabinet Ali Sastroamidjojo 1 (Juli 1953-Juli
1955), cabinet Baharuddin H (Agutus 1955-Maret 1956), cabinet Ali
Sastroamidjojo II (Mater 1956-1957), dan cabinet Djuanda. Dari masa jabatab
yang singakt membuat bangsa Indonesia tidak dapat menjalankan pemerintahan
dengan baik dan dianggap tidak sesuai dengan UUD dan Pancasila.
3.2 Saran
Seharusnya pada kesempatan yang seperti itu (masih
dalam pasca proklamasi), pemerintah dapat memanfaatkan kesempatan dengan adanya
perkembangan partai politik di Indonesia. Sehingga dengan itulah dapat
dijadikan alat dalm hal mendapatkan pengakuan kemerdekaan dari dunia
Internasional. Dan jika dilihat dari zaman sekarang yang juga terdapat banyak
partai politik, diharapkan dapat lebih baik dari masa demokrasi Liberal yang
terjadi pada 1950-1959, serta tidak usah berebut dalam kehidupan politik,
karena yang diharapkan dari bangsa Indonesia saat ini adalah dapat kembali
mewujudkan nilai-nilai yang terdapat dalam pancasila sebagai pondasi bangsa
Indonesia yang kokoh.
DAFTAR
PUSTAKA
Djoned M, Nugroho Notosusanto. 2009. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka
Feith H, dkk . 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965.
Jakarta: LP3ES
Ricklefs M.C. 2005. Sejarah Indonesia Moderen 1200-2004.
Jakarta: Serambi
Silalatu C. 2012.
Ketatanegaraan Indonesia pada Masa Berlakunya UUDS 1950. http://agussalam70.Blogger.com (diakses tanggal 17 Februari 2013)
Sumardiati Siti. 2010. Sejarah Indonesia Kontemporer.
Jember: Jember University Press
0 komentar:
Post a Comment